Select Page

Perhatian: Artikel ini panjang. Lebih tepat digunakan sebagai katalog indikator fundamental. Baca yang perlu saja. Semoga bermanfaat.

Analisa fundamental merupakan salah satu metode yang digunakan oleh investor untuk mengevaluasi kinerja suatu perusahaan dengan tujuan untuk menentukan apakah perusahaan tersebut layak untuk diinvestasikan. Berikut ini adalah panduan yang mencakup beberapa indikator analisa fundamental yang paling sering digunakan:

Indikator Definisi Bagaimana mengukur
1. Price-to-Earnings Ratio (P/E) Rasio harga saham terhadap laba per saham yang dihasilkan Rendah: lebih baik (undervalued), Tinggi: kurang baik (overvalued)
2. Price-to-Book Ratio (P/B) Rasio harga saham terhadap nilai buku per saham Rendah: lebih baik (undervalued), Tinggi: kurang baik (overvalued)
3. Return on Equity (ROE) Persentase laba bersih dibagi dengan ekuitas pemegang saham Tinggi: lebih baik, Rendah: kurang baik
4. Debt-to-Equity Ratio (D/E) Rasio antara total utang perusahaan dengan total ekuitas pemegang saham Rendah: lebih baik, Tinggi: kurang baik
5. Current Ratio Rasio antara aset lancar dan liabilitas lancar perusahaan >1: lebih baik, <1: kurang baik
6. Dividend Yield Rasio dividen yang dibayarkan per saham dibandingkan dengan harga saham Tinggi: lebih baik, Rendah: kurang baik
7. Earnings per Share (EPS) Laba bersih perusahaan yang dibagi dengan jumlah saham yang beredar Tinggi: lebih baik, Rendah: kurang baik
8. Operating Margin Laba operasional perusahaan dibagi dengan pendapatan total Tinggi: lebih baik, Rendah: kurang baik
9. Net Profit Margin Laba bersih perusahaan dibagi dengan pendapatan total Tinggi: lebih baik, Rendah: kurang baik
10. Revenue Growth Rate Tingkat pertumbuhan pendapatan perusahaan dalam periode tertentu Tinggi: lebih baik, Rendah: kurang baik
11. Price/Earnings to Growth (PEG) Mengukur nilai relatif saham berdasarkan pertumbuhan yang diharapkan Rendah: lebih baik, Tinggi: kurang baik

Price-to-Earnings Ratio (P/E Ratio) atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai Rasio Harga Laba, adalah ukuran yang menunjukkan seberapa mahal atau murah suatu saham dibandingkan dengan laba per saham yang dihasilkannya. P/E Ratio dihitung dengan membagi harga saham saat ini dengan laba per saham (EPS) dalam periode tertentu (biasanya 12 bulan terakhir).

Current P/E Ratio = Harga Saham Saat Ini / Laba per Saham (EPS)

Untuk menilai apakah suatu Current P/E Ratio baik atau kurang baik, kita perlu membandingkannya dengan P/E Ratio perusahaan lain di industri yang sama atau dengan rata-rata P/E Ratio industri secara keseluruhan. Jika P/E Ratio suatu perusahaan lebih rendah dari rata-rata industri, maka perusahaan tersebut dianggap memiliki P/E Ratio yang baik dan menunjukkan bahwa saham perusahaan tersebut relatif lebih murah dibandingkan dengan laba yang dihasilkannya. Sebaliknya, jika P/E Ratio lebih tinggi dari rata-rata industri, maka perusahaan tersebut dianggap memiliki P/E Ratio yang kurang baik dan menunjukkan bahwa saham perusahaan tersebut relatif lebih mahal dibandingkan dengan laba yang dihasilkannya.

Namun, perlu diingat bahwa P/E Ratio yang rendah tidak selalu mengindikasikan bahwa saham tersebut merupakan pilihan investasi yang baik, karena mungkin perusahaan tersebut sedang menghadapi masalah atau pertumbuhan yang lambat. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan faktor-faktor lain dan konteks industri serta kondisi pasar secara keseluruhan saat menggunakan P/E Ratio sebagai alat analisis dalam investasi saham.


Price-to-Book Ratio (P/B) adalah suatu rasio yang digunakan untuk mengukur nilai pasar suatu saham dibandingkan dengan nilai buku per saham. Dalam bahasa Indonesia, istilah ini dikenal sebagai “Rasio Harga terhadap Nilai Buku”. Rasio ini menggambarkan seberapa tinggi investor bersedia membayar untuk setiap unit nilai buku perusahaan.

P/B dihitung dengan membagi harga saham saat ini dengan nilai buku per saham. Nilai buku per saham sendiri dihitung dengan membagi ekuitas perusahaan dengan jumlah saham yang beredar.

Untuk menilai apakah P/B suatu perusahaan baik atau kurang baik, kita perlu membandingkannya dengan rasio P/B perusahaan sejenis atau industri yang sama. Secara umum, nilai P/B yang rendah dianggap lebih baik karena mengindikasikan bahwa saham tersebut undervalued atau dinilai murah, sedangkan nilai P/B yang tinggi dianggap kurang baik karena saham tersebut overvalued atau dinilai mahal.

Namun, perlu diingat bahwa penilaian ini tidak selalu berlaku untuk semua situasi. Dalam beberapa kasus, perusahaan dengan P/B yang tinggi mungkin memiliki prospek pertumbuhan yang lebih baik atau memiliki keunggulan kompetitif yang signifikan. Oleh karena itu, penting untuk tidak hanya mengandalkan satu indikator, tetapi juga mempertimbangkan faktor-faktor lain dalam analisa fundamental untuk menilai suatu perusahaan.


Return on Equity (ROE) adalah suatu rasio yang mengukur kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dari investasi yang diberikan oleh pemegang saham. Dalam bahasa Indonesia, istilah ini dikenal sebagai “Pengembalian atas Ekuitas”. Rasio ini menunjukkan seberapa efisien perusahaan dalam mengelola modal yang dimilikinya untuk menghasilkan keuntungan.

ROE dihitung dengan membagi laba bersih perusahaan dengan ekuitas pemegang saham. Ekuitas pemegang saham merupakan total dana yang disetor oleh pemegang saham ditambah dengan laba ditahan yang diakumulasi selama periode waktu tertentu.

Batasan ukuran yang baik dan kurang baik untuk ROE tergantung pada industri dan perusahaan sejenis. Secara umum, ROE yang tinggi dianggap baik karena mengindikasikan bahwa perusahaan efisien dalam menghasilkan laba dari ekuitas yang diinvestasikan, sedangkan ROE yang rendah dianggap kurang baik karena menunjukkan bahwa perusahaan kurang efisien dalam mengelola modalnya.

Namun, perlu diingat bahwa ROE yang sangat tinggi bisa menunjukkan risiko yang lebih tinggi, karena perusahaan mungkin menggunakan leverage atau hutang yang tinggi untuk meningkatkan laba. Oleh karena itu, penting untuk membandingkan ROE dengan industri dan perusahaan sejenis serta mempertimbangkan faktor-faktor lain dalam analisa fundamental untuk menilai suatu perusahaan secara menyeluruh.


Debt-to-Equity Ratio (D/E) adalah suatu rasio yang mengukur jumlah utang yang digunakan perusahaan untuk membiayai asetnya dibandingkan dengan ekuitas yang dimiliki oleh pemegang saham. Dalam bahasa Indonesia, istilah ini dikenal sebagai “Rasio Hutang terhadap Ekuitas”. Rasio ini menunjukkan seberapa banyak perusahaan bergantung pada pinjaman untuk mendanai kegiatan operasional dan investasinya.

D/E dihitung dengan membagi total utang perusahaan dengan total ekuitas pemegang saham. Utang perusahaan mencakup baik utang jangka pendek maupun utang jangka panjang, sementara ekuitas pemegang saham merupakan total dana yang disetor oleh pemegang saham ditambah dengan laba ditahan yang diakumulasi selama periode waktu tertentu.

Batasan ukuran yang baik dan kurang baik untuk D/E tergantung pada industri dan perusahaan sejenis. Secara umum, D/E yang rendah dianggap baik karena menunjukkan bahwa perusahaan memiliki tingkat hutang yang lebih rendah dan lebih mampu menanggung beban utangnya, sedangkan D/E yang tinggi dianggap kurang baik karena menunjukkan bahwa perusahaan memiliki tingkat hutang yang lebih tinggi dan mungkin lebih berisiko.

Namun, perlu diingat bahwa beberapa industri atau sektor mungkin memiliki tingkat D/E yang lebih tinggi secara alami, seperti sektor perbankan atau sektor properti. Oleh karena itu, penting untuk membandingkan D/E dengan industri dan perusahaan sejenis serta mempertimbangkan faktor-faktor lain dalam analisa fundamental untuk menilai suatu perusahaan secara menyeluruh.


Current Ratio adalah rasio keuangan yang mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendek (utang) dengan aset lancarnya. Dalam bahasa Indonesia, istilah ini dikenal sebagai “Rasio Lancar”. Rasio ini memberikan gambaran mengenai likuiditas perusahaan dan seberapa efisien perusahaan dalam mengelola aset serta kewajibannya.

Current Ratio dihitung dengan membagi total aset lancar perusahaan dengan total kewajiban lancar perusahaan. Aset lancar mencakup kas, piutang, persediaan, dan aset lancar lainnya yang dapat dengan mudah dikonversi menjadi kas dalam waktu satu tahun. Sementara itu, kewajiban lancar mencakup utang dagang, utang jangka pendek, dan kewajiban lain yang harus dibayar dalam waktu satu tahun.

Batasan ukuran yang baik dan kurang baik untuk Current Ratio tergantung pada industri dan perusahaan sejenis. Secara umum, Current Ratio yang lebih tinggi (> 1) dianggap baik karena menunjukkan bahwa perusahaan memiliki aset lancar yang lebih banyak daripada kewajiban lancarnya, sehingga perusahaan lebih mampu membayar kewajiban jangka pendeknya. Sebaliknya, Current Ratio yang lebih rendah (< 1) dianggap kurang baik karena menunjukkan bahwa perusahaan tidak memiliki cukup aset lancar untuk membayar kewajiban lancarnya, yang mungkin menandakan masalah likuiditas.

Namun, perlu diingat bahwa Current Ratio yang terlalu tinggi juga bisa menunjukkan bahwa perusahaan tidak menggunakan aset lancarnya secara efisien. Oleh karena itu, penting untuk membandingkan Current Ratio dengan industri dan perusahaan sejenis serta mempertimbangkan faktor-faktor lain dalam analisa fundamental untuk menilai suatu perusahaan secara menyeluruh.


Dividend Yield adalah rasio keuangan yang mengukur pendapatan dividen yang diterima investor per lembar saham yang dimiliki, dibandingkan dengan harga saham saat ini. Dalam bahasa Indonesia, istilah ini dikenal sebagai “Hasil Dividen”. Rasio ini memberikan gambaran mengenai seberapa banyak pendapatan yang diperoleh investor dari dividen, dibandingkan dengan investasi yang telah dilakukan dalam bentuk harga saham.

Dividend Yield dihitung dengan membagi dividen per saham (DPS) dengan harga saham saat ini. Dividen per saham (DPS) merupakan jumlah total dividen yang dibayarkan oleh perusahaan kepada pemegang saham, dibagi dengan jumlah saham yang beredar.

Batasan ukuran yang baik dan kurang baik untuk Dividend Yield sangat relatif dan tergantung pada preferensi investor, kondisi pasar, dan industri tempat perusahaan beroperasi. Secara umum, Dividend Yield yang lebih tinggi (> 3-4%) dianggap baik karena menunjukkan bahwa investor menerima pengembalian yang lebih tinggi dari dividen, dibandingkan dengan harga saham yang mereka bayar. Namun, Dividend Yield yang terlalu tinggi juga bisa menandakan risiko, seperti perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan atau pembayaran dividen yang tidak berkelanjutan.

Sebaliknya, Dividend Yield yang lebih rendah (< 2%) dianggap kurang baik karena menunjukkan bahwa investor menerima pengembalian yang lebih rendah dari dividen, dibandingkan dengan harga saham yang mereka bayar. Namun, perlu diingat bahwa perusahaan dengan Dividend Yield yang lebih rendah mungkin lebih fokus pada pertumbuhan, sehingga mereka mungkin menginvestasikan kembali keuntungan yang diperoleh, alih-alih membayar dividen yang tinggi.

Dalam menilai Dividend Yield, penting untuk membandingkan rasio ini dengan industri dan perusahaan sejenis, serta mempertimbangkan faktor-faktor lain dalam analisa fundamental untuk menilai suatu perusahaan secara menyeluruh.


Earnings per Share (EPS) atau Laba per Saham adalah rasio keuangan yang menunjukkan laba bersih yang dihasilkan perusahaan per lembar saham yang beredar. Rasio ini memberikan gambaran mengenai seberapa efisien perusahaan menghasilkan laba bagi pemegang saham. EPS dihitung dengan membagi laba bersih perusahaan dengan jumlah saham yang beredar.

Batasan ukuran yang baik dan kurang baik untuk EPS sangat relatif dan tergantung pada kondisi pasar, industri tempat perusahaan beroperasi, dan perbandingan dengan perusahaan sejenis.

Secara umum, EPS yang lebih tinggi dianggap baik, karena menunjukkan bahwa perusahaan menghasilkan laba yang lebih besar per lembar saham. Hal ini bisa menandakan bahwa perusahaan tersebut lebih efisien dalam mengelola sumber dayanya dan memiliki prospek pertumbuhan yang baik. Namun, perlu diperhatikan bahwa pertumbuhan EPS yang terlalu cepat juga bisa menjadi sinyal risiko, seperti perusahaan yang terlalu agresif dalam ekspansi atau menggunakan leverage yang tinggi.

Sebaliknya, EPS yang lebih rendah dianggap kurang baik, karena menunjukkan bahwa perusahaan menghasilkan laba yang lebih kecil per lembar saham. Hal ini bisa menandakan bahwa perusahaan tersebut kurang efisien dalam mengelola sumber dayanya, atau memiliki prospek pertumbuhan yang lebih rendah. Namun, perlu dicatat bahwa perusahaan dengan EPS yang rendah mungkin juga sedang berinvestasi dalam pertumbuhan, sehingga laba mereka mungkin lebih rendah untuk sementara waktu.

Dalam menilai EPS, penting untuk membandingkan rasio ini dengan industri dan perusahaan sejenis, serta mempertimbangkan faktor-faktor lain dalam analisa fundamental untuk menilai suatu perusahaan secara menyeluruh. Selain itu, melihat tren EPS dalam beberapa periode bisa memberikan gambaran mengenai kinerja perusahaan dalam jangka panjang.


Operating Margin atau Marjin Operasional adalah rasio keuangan yang mengukur seberapa efisien perusahaan menghasilkan laba dari operasinya. Rasio ini menunjukkan persentase dari pendapatan yang tersisa setelah dikurangi biaya operasional (seperti biaya produksi, gaji karyawan, dan biaya administrasi) dan sebelum pengurangan pajak, bunga, dan amortisasi. Operating Margin dihitung dengan membagi laba operasional (Operating Income) dengan total pendapatan (Revenue).

Batasan ukuran yang baik dan kurang baik untuk Operating Margin sangat relatif dan tergantung pada industri tempat perusahaan beroperasi, kondisi pasar, dan perbandingan dengan perusahaan sejenis.

Secara umum, Operating Margin yang lebih tinggi dianggap baik, karena menunjukkan bahwa perusahaan mampu menghasilkan laba yang lebih besar dari operasinya. Hal ini bisa menandakan bahwa perusahaan tersebut efisien dalam mengelola biaya operasional dan memiliki keunggulan kompetitif di pasarnya. Perusahaan dengan marjin operasional yang tinggi cenderung lebih stabil dan memiliki fleksibilitas yang lebih besar dalam menghadapi kondisi pasar yang berubah-ubah.

Sebaliknya, Operating Margin yang lebih rendah dianggap kurang baik, karena menunjukkan bahwa perusahaan menghasilkan laba yang lebih kecil dari operasinya. Hal ini bisa menandakan bahwa perusahaan tersebut kurang efisien dalam mengelola biaya operasional atau menghadapi persaingan yang ketat di pasarnya. Perusahaan dengan marjin operasional yang rendah mungkin lebih rentan terhadap kondisi pasar yang tidak menguntungkan dan memiliki fleksibilitas yang lebih terbatas.

Dalam menilai Operating Margin, penting untuk membandingkan rasio ini dengan industri dan perusahaan sejenis, serta mempertimbangkan faktor-faktor lain dalam analisa fundamental untuk menilai suatu perusahaan secara menyeluruh. Selain itu, melihat tren Operating Margin dalam beberapa periode bisa memberikan gambaran mengenai kinerja perusahaan dalam jangka panjang.


Net Profit Margin atau Marjin Laba Bersih adalah rasio keuangan yang mengukur seberapa efisien perusahaan menghasilkan laba bersih dari total pendapatannya. Rasio ini menunjukkan persentase dari pendapatan yang tersisa setelah dikurangi semua biaya dan pengeluaran, termasuk biaya operasional, bunga, pajak, dan amortisasi. Net Profit Margin dihitung dengan membagi laba bersih (Net Income) dengan total pendapatan (Revenue).

Batasan ukuran yang baik dan kurang baik untuk Net Profit Margin sangat relatif dan tergantung pada industri tempat perusahaan beroperasi, kondisi pasar, dan perbandingan dengan perusahaan sejenis.

Secara umum, Net Profit Margin yang lebih tinggi dianggap baik, karena menunjukkan bahwa perusahaan mampu menghasilkan laba yang lebih besar dari total pendapatannya. Hal ini bisa menandakan bahwa perusahaan tersebut efisien dalam mengelola biaya dan memiliki keunggulan kompetitif di pasarnya. Perusahaan dengan marjin laba bersih yang tinggi cenderung lebih stabil dan memiliki fleksibilitas yang lebih besar dalam menghadapi kondisi pasar yang berubah-ubah.

Sebaliknya, Net Profit Margin yang lebih rendah dianggap kurang baik, karena menunjukkan bahwa perusahaan menghasilkan laba yang lebih kecil dari total pendapatannya. Hal ini bisa menandakan bahwa perusahaan tersebut kurang efisien dalam mengelola biaya atau menghadapi persaingan yang ketat di pasarnya. Perusahaan dengan marjin laba bersih yang rendah mungkin lebih rentan terhadap kondisi pasar yang tidak menguntungkan dan memiliki fleksibilitas yang lebih terbatas.

Dalam menilai Net Profit Margin, penting untuk membandingkan rasio ini dengan industri dan perusahaan sejenis, serta mempertimbangkan faktor-faktor lain dalam analisa fundamental untuk menilai suatu perusahaan secara menyeluruh. Selain itu, melihat tren Net Profit Margin dalam beberapa periode bisa memberikan gambaran mengenai kinerja perusahaan dalam jangka panjang.


Revenue Growth Rate atau Tingkat Pertumbuhan Pendapatan adalah metrik keuangan yang mengukur seberapa cepat pendapatan perusahaan tumbuh dari satu periode ke periode berikutnya. Tingkat pertumbuhan pendapatan menunjukkan kinerja perusahaan dalam meningkatkan penjualan dan menghasilkan pendapatan yang lebih besar seiring waktu. Tingkat pertumbuhan pendapatan dihitung dengan membagi perubahan pendapatan antara periode saat ini dan periode sebelumnya, lalu dibagi dengan pendapatan periode sebelumnya, dan dikalikan dengan 100 untuk menghasilkan persentase.

Batasan ukuran yang baik dan kurang baik untuk Revenue Growth Rate sangat relatif dan tergantung pada industri tempat perusahaan beroperasi, kondisi pasar, dan perbandingan dengan perusahaan sejenis.

Secara umum, Revenue Growth Rate yang positif dianggap baik, karena menunjukkan bahwa perusahaan berhasil meningkatkan penjualan dan menghasilkan pendapatan yang lebih besar. Tingkat pertumbuhan pendapatan yang positif bisa mengindikasikan bahwa perusahaan memiliki produk atau layanan yang diminati pasar, memiliki strategi pemasaran yang efektif, atau mengekspansi operasinya.

Sebaliknya, Revenue Growth Rate yang negatif atau rendah dianggap kurang baik, karena menunjukkan bahwa perusahaan tidak berhasil meningkatkan penjualan dan pendapatannya. Tingkat pertumbuhan pendapatan yang negatif atau rendah bisa mengindikasikan bahwa perusahaan menghadapi persaingan yang ketat, kehilangan pangsa pasar, atau mengalami penurunan permintaan untuk produk atau layanannya.

Dalam menilai Revenue Growth Rate, penting untuk membandingkan metrik ini dengan industri dan perusahaan sejenis, serta mempertimbangkan faktor-faktor lain dalam analisa fundamental untuk menilai suatu perusahaan secara menyeluruh. Selain itu, melihat tren Revenue Growth Rate dalam beberapa periode bisa memberikan gambaran mengenai kinerja perusahaan dalam jangka panjang dan potensi pertumbuhannya di masa depan.


Price/Earnings to Growth (PEG) adalah rasio yang digunakan oleh investor untuk menilai saham perusahaan dengan mempertimbangkan pertumbuhan pendapatan perusahaan serta rasio Price-to-Earnings (P/E). PEG ratio membantu investor menilai nilai relatif saham berdasarkan pertumbuhan yang diharapkan.

Untuk menghitung PEG ratio, Anda perlu mengambil P/E ratio perusahaan dan membaginya dengan tingkat pertumbuhan laba per saham (EPS) perusahaan dalam periode tertentu (biasanya dinyatakan dalam persentase). Rumusnya sebagai berikut:

PEG Ratio = (P/E Ratio) / Tingkat Pertumbuhan EPS

Sebagai contoh, jika perusahaan memiliki P/E ratio sebesar 15 dan tingkat pertumbuhan EPS tahunan sebesar 20%, maka PEG ratio perusahaan tersebut adalah 15 / 20 = 0,75.

Interpretasi PEG ratio:

  • Nilai PEG di bawah 1 dianggap menunjukkan bahwa saham tersebut undervalued, atau dengan kata lain, harga saham dianggap murah relatif terhadap pertumbuhan perusahaan.
  • Nilai PEG sama dengan 1 menunjukkan bahwa saham tersebut dihargai secara wajar berdasarkan pertumbuhan perusahaan.
  • Nilai PEG di atas 1 dianggap menunjukkan bahwa saham tersebut overvalued, atau dengan kata lain, harga saham dianggap mahal relatif terhadap pertumbuhan perusahaan.

Namun, perlu diingat bahwa PEG ratio hanya salah satu indikator yang bisa digunakan dalam analisis fundamental, dan tidak selalu mencerminkan kondisi perusahaan secara keseluruhan. Investor harus mempertimbangkan indikator lain dan informasi tambahan untuk membuat keputusan investasi yang lebih baik.


Sumber literasi dari artikel ini mencakup berbagai buku, artikel, dan laporan yang membahas analisa fundamental, seperti buku “Security Analysis” oleh Benjamin Graham dan David Dodd, serta berbagai sumber daring yang membahas topik ini.

Selalu ingat untuk mengkombinasikan indikator yang ada untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif tentang kinerja perusahaan. Selain itu, analisa fundamental harus digunakan bersama dengan metode lain, seperti analisa teknikal, untuk membuat keputusan investasi yang lebih baik.


Silakan kirimkan saran perbaikan untuk artikel ini ke email funtrading.id@gmail.com
Karena artikel ini jauh dari sempurna.